Ini hadiah!
Siapa yang
menggerakan hati...meringankan langkahnya untuk tetap berjuang, meneguhkan
keyakinannya untuk menunjukan, dan menerima saat menemui perubahan.
Kisah cinta yang
mudah memang hanya diciptakan di dalam kisah-kisah dongeng pengantar tidur
gadis-gadis kecil. Alur dan akhirnya mudah ditebak. Namun tidak demikian dengan
kisah aku dan dia.
2 Februari 15
adalah pembulatan awal komitmen yang diawal saja sudah ketar ketir untuk
diyakini akan berjalan mulus, langkah pertama kami sudah sedikit berbeda dengan
cerita cinta pasangan muda diawal hari jadinya. Namun, beginilah aku dan dia.
Saling membisik bahwa badai tak akan menenggelamkan, bahwa batu tidaklah
terlalu menyakitkan, dan gelap tidaklah menyesatkan. Dia berdiri tegap didepan
ku, mengulurkan tangan dan memandangku. Matanya membuatku menyambut uluran
tangannya dan berdiri menemaninya tepat disamping ia menatap kedepan. Aku
disampingnya, sejak tanggal itu dan hingga nanti.
Menerima semua
kelebihannya bukanlah cinta, itu adalah hadiah. Aku memilihnya bukan hanya
semua yang berada pada dirinya indah, namun dengan segala lemahnya yang bisa
aku isi. Bagitu pula aku untuknya. Cinta bukan menunjukan siapa yang beruntung,
namun apakah kita bisa beruntung. Menguatkan satu sama lain, mengingatkan saat
yang satu lupa, menenangkan saat yang satu gelisah, mendorong saat yang satu
hendak mundur, dan menerima saat yang satu merasa tak bermakna. Beruntunglah
bila cinta sudah seperti itu.
Bagaikan ceri
film, aku saat ini merasakan menjadi seorang putri yang kehilangan istana dan
pengikutku. Namun ia datang menyambutku, menerima ku hingga titik terendah ku.
Menawariku untuk mengembala saja dengannya. Katanya, ia tak mengharapku untuk
kembali mengambil apa yang biasa aku miliki, aku cukup menjadi aku, namun aku
yang baru dengan hati yang lebih lembut dan lebih sedikit meredam ambisi adalah
kebahagiaan lebih untuknya. Ia mengatakan, bila menginginkan bulan, bukan lah
ia orangnya, bila menginginkan emas, bukanlah ia orangnya. Tapi, bila aku
mencari sahabat dan pejuang, dialah orangnya. Ia meyakinkan ku bahwa ia mampu
menikmati dunia bersama ku tanpa bosan, melakukan banyak hal dengan ku tanpa
malu, dan pergi pagi pulang malam adalah bukti perjuangannya untuk dihargai.
Lalu aku tertegun dan menunduk, maka apa lagi yang aku cari, bila seseorang
sudah hadir dan membuktikannya sedikit demi sedikit, dengan yakin dan tak
banyak menghadiahkan kata atau janji.
Lantas apa yang
harus aku beri untuk pembalasan cintanya...aku selalu berkata padanya, padaku
sendiri dan pada Ia yang memiliki diriku juga hidupku seluruhnya. Saat ini
hanya untaian do’a yang tak pernah lupa untuk aku pinta yang bisa aku beri,
kutahan langkahku untuk pergi jauh demi menggapai impian atas kehausan
ambisiku, ku belajar melunak untuk dia yang sudah bijak, aku menjaga hati jauh
lebih dalam yang bisa aku lakukan, karena aku sudah tak lagi putri dengan
segala kemewahannya. Aku kini memulai segalanya dengan baju lusuhku, masih kan
kamu mau menunggu dan bahkan menemaniku untuk mengganti baju dengan yang jauh
lebih pantas dan kau pun suka? Bersabarlah dengan ku.
24 Janurai 16, apa
yang kamu lakukan? Aku menangis hari sendirian. Kamu membuktikannya, kamu
menerima dan bersedia menemaniku hingga aku pantas ada ditempat yang kelak
pantas untuk ku. Kau menghadiahkanku hal terindah dari seluruh hadiah yang
pernah aku dapatkan, dari sejuta untaian cinta yang pernah aku dengar, dari
ribuan janji yang terlihat manis. Kau dan Ayah juga ibu mu mengikatku, untuk
menutup hati demi peminta hati yang lain, meminta ku untuk jauh lebih baik dari
sebelumnya, untuk semakin manjaga cinta agar bisa kita genggang pada waktunya
yang tepat. Kau melamar ku...
Tidak ada yang aku
tutupi sedikitpun, hitam dan putihku kau jelas sudah tahu. Begitu juga aku.
Kemarin, saat aku berdebar menanti mu datang, aku berdialog dengn perasaan dan
logika ku. Apa aku bisa selamanya mencintai orang yang sama, dan itu kamu? Perasaan
ku menjawab “tentu”, saat ini saja aku kerap jatuh cinta lagi dan lagi, cinta
yang putih, tulus, tanpa pengharapan hitam dari mu, kau melindungi ku dan hal
itu yang membuat aku akan membuktikan bahwa aku bisa memberi mu klebih dari apa
yang bisa kau bayangkan. Semoga kelak aku bisa menjadi bahu untuk kau berkeluh
kesah selain sejadah mu, semoga kelak aku bisa menjadi tongkat, saat kamu
merasa lelah berjalan dengan kedua kaki mu, aku juga akan berjuang bersama mu.
Lalu aku bertanya, apakah aku pantas untuk kamu yang terus menerus baik untuk
ku, sedang aku yang cengeng dan sering membuat mu lelah memikirkan ide agar aku
tersenyum kembali? Maka perasaantu mengatakan lagi “tentu”, aku rela melepaskan
sayap ku dan tak lagi pergi jauh, tak lagi mengasingkan mu saat aku sibuk, tak
lagi berambisi banyak selain bisa bersama dengan mu, karena untuk ku juga,
sudah cukuplah kamu.
Kini, saatnya kita
saling menjaga hingga waktunya tiba. Aku harap, aku adalah kaki kiri mu, buku
diri mu, dan juga rumah untuk mu, hingga kemana pun kau pergi, aku adalah
tujuan pulang mu. Terimakasih atas segalanya. . . Rizza Algivari.