Do’a
bidadari dari surga
Oleh,
Ita Juita
Langit
nampak cerah pagi ini. Hamparan permadani di kaki langitpun saling melambai
dengan gemulai, kupu-kupu dan burung pipitpun menari-nari riang menggodaku
untuk ikut bergabung bersama mereka. Hari ini memang seperti hari-hari
biasanya, namun kesannya tak pernah berubah, aku pengagum berat desa tempat
tinggalku ini.
Hari
ini minggu ke tiga aku bergegas untuk sekolah, ya, aku duduk di sekolah
menengah atas sekarang ini. Tak banyak yang berubah, aku tetap anak ibu yang
pandai dan penurut. Seusai sekolah aku tak pernah keluyuran atau pergi tanpa
sepengetahuan ibu. Bergegas ke rumah dan membantu ibu di warung sederhanaku
seusai sekolah selalu aku lakukan dengan riang gembira.
Namun
berbeda dengan hari ini, langit nampak mendung dan sesekali aku melihat kilat
yang tak biasa. “Ada apa dengan mu tuhan?? Apa yang membuatmu murka di pagi
ini?” tanyaku dalam hati. Ketika diri ini terpaku memandang langit yang nampak
kalut, terdengar suara lembut yang akhirnya membuatku tersadar, “sepertinya
hari ini akan turun hujan nak, apa tidak sebaiknya kamu urungkan niat untuk
pergi sekolah? ibu hawatir terjadi apa-apa”. Mata ibu selalu membuatku teduh
setiap melihatnya, “Aduh, enggak bu, ibu tidak usah hawatir, palingan sepuluh
menit lagi langitnya akan cerah kembali” jawab ku meyakinkan.
Setibanya
di sekolah aku melihat sekumpulan orang-orang yang sedang asyik membicarakan
sesuatu. Dari kejauhan ku lihat seorang wanita melambaikan tangannya ke arah
ku, wajahnya tentu saja tidak asing, Feby panggilanku untuknya. “Sini! Mau ikut
gak nanti malam?”, “memangnya nanti malam ada apa Feb?” tanya ku sambil
mengernyit dahi. Lalu tak lama kemudian, Feby menceritakan bahwa akan ada
konser band di pusat kota. Yang membuatku galau, salah satu band pengisi acara
itu adalah band favoritku dan tentu saja aku ingin sekali melihatnya, tapi
sebelum meminta izin pada ibu, aku sudah tahu jawaban apa yang akan ibu berikan
dan teman-temanpun tahu pasti kalau aku tidak akan bisa bergabung dengan
mereka.
Dua
jam pelajaran aku lalui dengan sangat tidak konsentrasi, tak ada suara yang aku
tangkap, otak ini nampak terus berputar mencari solusi untuk apa yang aku
hadapi sekarang. Tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan kepalan kertas ke
arah ku, didalamnya tertuliskan kata-kata yang membuatku semakin pusing. “Pasti
ikut kan nanti malam? Masa iya fansnya sendiri enggak datang! biar diizinin ibu
kamu yang rewel, bilang aja ada kegiatan di sekolah. Nanti kamu pulangnya
nginep aja di rumah aku. J Fby “. Aku tersenyum kearah feby.
Seusai
sekolah Feby langsung menghampiriku dan mengajakku untuk langsung ke rumahnya.
Dan seperti tersihir aku tanpa sepatah katapun mengikuti Feby untuk ke
rumahnya, tanpa mempertimbangkan akan serepot apa ibu di warung sembari
mengurus adikku yang masih kecil. Handphone ini belum berdering, mungkin ibu
mengira aku ada tambahan pelajaran seperti beberapa hari sebelumnya dan
tentunya ibu tidak ingin mengganggu ku.
Aku
tertawa terbahak-bahak dengan sahabatku dan seakan lupa dengan ibu dan yang
lainnya. Seperti penumpang yang terburu-buru karena takut ketinggalan kereta,
seusai makan siang itu kita bergegas mandi dan mengganti pakaian. Aku tentunya
tidak mungkin dibiarkan begitu saja dengan seragam lusuhku untuk pergi ke
konser. Feby meminjami bajunya untuk ku, dan baju-baju Feby tentu saja selalu
nempak terbuka dan aku tak punya pilihan. Aku tandangkan kerudungku dan
menggantinya dengan kaos yang ketat dan rok pendek yang memikat vokalis band
yang sudah lama aku gandrungi. Ya, aku benar-benar berubah hari ini. Tanpa
sadar aku seperti jadi orang yang baru, rasa hausku akan hal yang tak pernah
aku lakukan membuatku kalaf saat itu.
Seperti
melihat petir yang muncul di pagi tadi, aku terkaget-kaget melihat banyaknya
misscall dari ibu dan dereten sms yang memenuhi inbox di HP ku. ”Nak, kamu
dimana? Tadi ibu ke sekolah berniat menjemputmu ditemani adik mu karena sangat
hawatir, tapi pihak sekolah mengatakan bahwa semuanya sudah pulang dua jam yang
lalu, kamu dimana nak? Cepat pulang, jangan buat ibu hawatir seperti ini!”.
Entah setan apa yang merasukiku sore itu, aku langsung membalas pesan dari ibu
dengan tidak sopan, “Aku baik, ibu tidak usah hawatir. Aku sudah besar dan bisa
menentukan hidupku sendiri, aku ada acara bersama teman nanti malam. HP aku
non-active kan!”. Dan aku sudah menebak akan banyak puluhan pesan dan akan
berjuta kali ibu mencoba menghubungiku.
Di konser itu aku dan Feby dengan
bebasnya menari-nari layaknya wanita liar yang sudah terbiasa melakukan hal
tersebut. Sungguh hal yang tak pernah terbayangkan meski satu detik saja. Setan
saat itu pastilah sedang berpesta kala aku kalah melawan tipu dayanya.
Malam itu aku pulang agak larut dan
aku putuskan untuk pulang ke rumah saja, mengganti pakaian ku di toilet umum
yang aku temukan dalam perjalanan ke rumah. Ibu belum tidur pada saat itu,tepat
jam 10 malam. Entah terbuat dari apa hati ibuku, iya masih menyambutku dengan
hangat, bahkan langsung memeluku. Memang sesekali ia mengomel dan bahkan sampai
memohon pada ku untuk tidak mengulanginya lagi. Aku sebenarnya amat sangat
malu, lalu segeralah aku bergegas masuk kamarku.
Badan ini tiba-tiba menggigil, dan aku
hanya bisa membaringkan badan di tempat tidur sembari selimutan. Lagi-lagi Ibu
nampak seperti malaikan yang cekatan menghampiriku dan memeriksa suhu tubuh
ini. Ia panik, aku memang sering sakit-sakitan. Mungkin karena itu juga ibu
selalu terlihat berlebihan kapadaku. Obat ku habis, ibu semakin kelimpungan.
Lalu ia menemukan obat yang hampir sama di box obat-obatku.
Aku agak membaik. Sampai pada satu
jam berikutnya tiba-tiba di kepala ini terasa banyak ribuan semut yang
berjalan-jalan, pori-pori kulit ini bermunculan dan berwarna merah nampak
seperti telur ikan ditepian kolam, dan suhu tubuhku tiba-tiba mendingin dengan
drastis. Aku menjerit dan menangis, aku peluk ibu sekuat tenaga dan saat itu
juga aku tak ingat apa-apa.
Aku koma saat itu. Darahku hanya
60/100, napasku hampir tak ada, dan dokter memponis aku meninggal. Tak ada yang
aku alami selama aku tak sadarkan diri, yang aku ingat di suatu pagi aku
mendengar seorang wanita terus menangis dan memanggil nama tuhan, dan aku yakin
itu adalah ibuku.
Aku ketakutan. Aku ingin bangkit dan mencium
kakinya. Ia menjerit,menyalahkan dirinya sendiri dan terus memanggilku. Entah
kenapa,pagi itu seperti hadiah yang aku dapatkan dari tuhan,tiba-tiba aku bisa
menggerakan kaki ku sebelum sempat aku dimasukan ke dalam ambulance untuk
pindah rumah sakit. Dokter dan suster segera memindahkanku ke dalam ruangan
husus dan satu jam kemudian aku benar-benar bisa tersadar kembali meski dalam
keadaan sangat lemas dan ditubuhku terpasang banyak alat.
Ibu
menghampiri ku. Wajahnya lusuh, matanya nampak sudah lelah untuk menangis tapi
air matanya tak habis-habis dan tak bisa ia bendung. “Maafkan ibu nak,
maaf....” ucapnya sembari menggenggam tangan ku. Dan saat itu juga aku meminta
maaf dengan segala penyesalan ku kepadanya, mencium tangan dan pipinya.
Tak
lama kemudian ibu bergegas untuk pergi berwudu dan mendirikan beberapa sholat
sunah. Aku terus memandanginya dan tak bisa berhenti untuk menangis. Ada
sepenggalan do’a yang ibu tuturkan dalam sholatnya dan aku masih ingat hingga sekarang.
“Ya Alloh, hamba ucap
syukur atas kemurahan yang engkau berikan kepada hamba.
Lindungi selalu
anak-anak hamba dari segala marabahaya dan bencana.
Berkahi langkahnya dan
hujanilah selalu ia dengan cintamu.
Ampuni hamba yang
teledor menjaga amanah mu.
Terimakasih hamba
ucapkan dengan segala kerendahan hamba.
Dari
bibir yang kotor ini, hamba tak akan pernah jera untuk bersyukur dan memohon
kepada mu ya Rabb”.
Beberapa
hari kemudian aku sudah bisa menjalankan rutinitasku seperti semula. Aku
kembali menjadi anak ibu yang baik, penurut dan bahkan lebih peka terhadap
orang lain. Kerudung ini tak pernah lagi aku tandangkan. Aku terus belajar
dalam banyak hal dimulai pada saat itu. Hari baru akan aku mulai. Sekarang dan
esok harus menjadi pribadi yang lebih baik. Dan memberi ibu yang terbaik adalah
janji ku yang akan aku suguhkan untuknya, meski jiwa dan raga ini harus
terkoyak untuk mendapatkannya.
Tak
akan pernah lelah bibir ini berdo’a untuknya.
Setiap
senyum dan tawanya adalah semangat untuk ku.
Ibu,,,,,
Takan
mampu diri ini melihatnya menangis,
Takan
mampu diri ini membalas jasanya,
Meski
jiwa dan raga ini ku serahkan seutuhnya.
No comments:
Post a Comment