It's Yours

I just wanna talk what I want to talk.
There's no big idea down, But hope the simple thought will be a great simplicity.

Tuesday, 16 April 2013

Cerpen

Do’a bidadari dari surga
Oleh, Ita Juita
Langit nampak cerah pagi ini. Hamparan permadani di kaki langitpun saling melambai dengan gemulai, kupu-kupu dan burung pipitpun menari-nari riang menggodaku untuk ikut bergabung bersama mereka. Hari ini memang seperti hari-hari biasanya, namun kesannya tak pernah berubah, aku pengagum berat desa tempat tinggalku ini.
Hari ini minggu ke tiga aku bergegas untuk sekolah, ya, aku duduk di sekolah menengah atas sekarang ini. Tak banyak yang berubah, aku tetap anak ibu yang pandai dan penurut. Seusai sekolah aku tak pernah keluyuran atau pergi tanpa sepengetahuan ibu. Bergegas ke rumah dan membantu ibu di warung sederhanaku seusai sekolah selalu aku lakukan dengan riang gembira.
Namun berbeda dengan hari ini, langit nampak mendung dan sesekali aku melihat kilat yang tak biasa. “Ada apa dengan mu tuhan?? Apa yang membuatmu murka di pagi ini?” tanyaku dalam hati. Ketika diri ini terpaku memandang langit yang nampak kalut, terdengar suara lembut yang akhirnya membuatku tersadar, “sepertinya hari ini akan turun hujan nak, apa tidak sebaiknya kamu urungkan niat untuk pergi sekolah? ibu hawatir terjadi apa-apa”. Mata ibu selalu membuatku teduh setiap melihatnya, “Aduh, enggak bu, ibu tidak usah hawatir, palingan sepuluh menit lagi langitnya akan cerah kembali” jawab ku meyakinkan.
Setibanya di sekolah aku melihat sekumpulan orang-orang yang sedang asyik membicarakan sesuatu. Dari kejauhan ku lihat seorang wanita melambaikan tangannya ke arah ku, wajahnya tentu saja tidak asing, Feby panggilanku untuknya. “Sini! Mau ikut gak nanti malam?”, “memangnya nanti malam ada apa Feb?” tanya ku sambil mengernyit dahi. Lalu tak lama kemudian, Feby menceritakan bahwa akan ada konser band di pusat kota. Yang membuatku galau, salah satu band pengisi acara itu adalah band favoritku dan tentu saja aku ingin sekali melihatnya, tapi sebelum meminta izin pada ibu, aku sudah tahu jawaban apa yang akan ibu berikan dan teman-temanpun tahu pasti kalau aku tidak akan bisa bergabung dengan mereka.
Dua jam pelajaran aku lalui dengan sangat tidak konsentrasi, tak ada suara yang aku tangkap, otak ini nampak terus berputar mencari solusi untuk apa yang aku hadapi sekarang. Tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan kepalan kertas ke arah ku, didalamnya tertuliskan kata-kata yang membuatku semakin pusing. “Pasti ikut kan nanti malam? Masa iya fansnya sendiri enggak datang! biar diizinin ibu kamu yang rewel, bilang aja ada kegiatan di sekolah. Nanti kamu pulangnya nginep aja di rumah aku. J Fby “. Aku tersenyum kearah feby.
Seusai sekolah Feby langsung menghampiriku dan mengajakku untuk langsung ke rumahnya. Dan seperti tersihir aku tanpa sepatah katapun mengikuti Feby untuk ke rumahnya, tanpa mempertimbangkan akan serepot apa ibu di warung sembari mengurus adikku yang masih kecil. Handphone ini belum berdering, mungkin ibu mengira aku ada tambahan pelajaran seperti beberapa hari sebelumnya dan tentunya ibu tidak ingin mengganggu ku.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan sahabatku dan seakan lupa dengan ibu dan yang lainnya. Seperti penumpang yang terburu-buru karena takut ketinggalan kereta, seusai makan siang itu kita bergegas mandi dan mengganti pakaian. Aku tentunya tidak mungkin dibiarkan begitu saja dengan seragam lusuhku untuk pergi ke konser. Feby meminjami bajunya untuk ku, dan baju-baju Feby tentu saja selalu nempak terbuka dan aku tak punya pilihan. Aku tandangkan kerudungku dan menggantinya dengan kaos yang ketat dan rok pendek yang memikat vokalis band yang sudah lama aku gandrungi. Ya, aku benar-benar berubah hari ini. Tanpa sadar aku seperti jadi orang yang baru, rasa hausku akan hal yang tak pernah aku lakukan membuatku kalaf saat itu.
Seperti melihat petir yang muncul di pagi tadi, aku terkaget-kaget melihat banyaknya misscall dari ibu dan dereten sms yang memenuhi inbox di HP ku. ”Nak, kamu dimana? Tadi ibu ke sekolah berniat menjemputmu ditemani adik mu karena sangat hawatir, tapi pihak sekolah mengatakan bahwa semuanya sudah pulang dua jam yang lalu, kamu dimana nak? Cepat pulang, jangan buat ibu hawatir seperti ini!”. Entah setan apa yang merasukiku sore itu, aku langsung membalas pesan dari ibu dengan tidak sopan, “Aku baik, ibu tidak usah hawatir. Aku sudah besar dan bisa menentukan hidupku sendiri, aku ada acara bersama teman nanti malam. HP aku non-active kan!”. Dan aku sudah menebak akan banyak puluhan pesan dan akan berjuta kali ibu mencoba menghubungiku.
            Di konser itu aku dan Feby dengan bebasnya menari-nari layaknya wanita liar yang sudah terbiasa melakukan hal tersebut. Sungguh hal yang tak pernah terbayangkan meski satu detik saja. Setan saat itu pastilah sedang berpesta kala aku kalah melawan tipu dayanya.
            Malam itu aku pulang agak larut dan aku putuskan untuk pulang ke rumah saja, mengganti pakaian ku di toilet umum yang aku temukan dalam perjalanan ke rumah. Ibu belum tidur pada saat itu,tepat jam 10 malam. Entah terbuat dari apa hati ibuku, iya masih menyambutku dengan hangat, bahkan langsung memeluku. Memang sesekali ia mengomel dan bahkan sampai memohon pada ku untuk tidak mengulanginya lagi. Aku sebenarnya amat sangat malu, lalu segeralah aku bergegas masuk kamarku.
            Badan ini tiba-tiba menggigil, dan aku hanya bisa membaringkan badan di tempat tidur sembari selimutan. Lagi-lagi Ibu nampak seperti malaikan yang cekatan menghampiriku dan memeriksa suhu tubuh ini. Ia panik, aku memang sering sakit-sakitan. Mungkin karena itu juga ibu selalu terlihat berlebihan kapadaku. Obat ku habis, ibu semakin kelimpungan. Lalu ia menemukan obat yang hampir sama di box obat-obatku.
            Aku agak membaik. Sampai pada satu jam berikutnya tiba-tiba di kepala ini terasa banyak ribuan semut yang berjalan-jalan, pori-pori kulit ini bermunculan dan berwarna merah nampak seperti telur ikan ditepian kolam, dan suhu tubuhku tiba-tiba mendingin dengan drastis. Aku menjerit dan menangis, aku peluk ibu sekuat tenaga dan saat itu juga aku tak ingat apa-apa.
            Aku koma saat itu. Darahku hanya 60/100, napasku hampir tak ada, dan dokter memponis aku meninggal. Tak ada yang aku alami selama aku tak sadarkan diri, yang aku ingat di suatu pagi aku mendengar seorang wanita terus menangis dan memanggil nama tuhan, dan aku yakin itu adalah ibuku.
 Aku ketakutan. Aku ingin bangkit dan mencium kakinya. Ia menjerit,menyalahkan dirinya sendiri dan terus memanggilku. Entah kenapa,pagi itu seperti hadiah yang aku dapatkan dari tuhan,tiba-tiba aku bisa menggerakan kaki ku sebelum sempat aku dimasukan ke dalam ambulance untuk pindah rumah sakit. Dokter dan suster segera memindahkanku ke dalam ruangan husus dan satu jam kemudian aku benar-benar bisa tersadar kembali meski dalam keadaan sangat lemas dan ditubuhku terpasang banyak alat.
Ibu menghampiri ku. Wajahnya lusuh, matanya nampak sudah lelah untuk menangis tapi air matanya tak habis-habis dan tak bisa ia bendung. “Maafkan ibu nak, maaf....” ucapnya sembari menggenggam tangan ku. Dan saat itu juga aku meminta maaf dengan segala penyesalan ku kepadanya, mencium tangan dan pipinya.
Tak lama kemudian ibu bergegas untuk pergi berwudu dan mendirikan beberapa sholat sunah. Aku terus memandanginya dan tak bisa berhenti untuk menangis. Ada sepenggalan do’a yang ibu tuturkan dalam sholatnya dan aku masih ingat hingga sekarang.
“Ya Alloh, hamba ucap syukur atas kemurahan yang engkau berikan kepada hamba.
Lindungi selalu anak-anak hamba dari segala marabahaya dan bencana.
Berkahi langkahnya dan hujanilah selalu ia dengan cintamu.
Ampuni hamba yang teledor menjaga amanah mu.
Terimakasih hamba ucapkan dengan segala kerendahan hamba.
Dari bibir yang kotor ini, hamba tak akan pernah jera untuk bersyukur dan memohon kepada mu ya Rabb”.
Beberapa hari kemudian aku sudah bisa menjalankan rutinitasku seperti semula. Aku kembali menjadi anak ibu yang baik, penurut dan bahkan lebih peka terhadap orang lain. Kerudung ini tak pernah lagi aku tandangkan. Aku terus belajar dalam banyak hal dimulai pada saat itu. Hari baru akan aku mulai. Sekarang dan esok harus menjadi pribadi yang lebih baik. Dan memberi ibu yang terbaik adalah janji ku yang akan aku suguhkan untuknya, meski jiwa dan raga ini harus terkoyak untuk mendapatkannya.


Tak akan pernah lelah bibir ini berdo’a untuknya.
Setiap senyum dan tawanya adalah semangat untuk ku.
Ibu,,,,,
Takan mampu diri ini melihatnya menangis,
Takan mampu diri ini membalas jasanya,
Meski jiwa dan raga ini ku serahkan seutuhnya.

No comments:

Post a Comment

Copyright at It's Yours - 2013

Designed by makmalf