Mata
ini masih saja belum terjaga. Aku larut dalam kesepian, melihat bayanganku
sendiri digenangan air yang hampir membanjiri diriku. “Aauuuuuuuww….” Aku terperangah
dan sedikit bergetar mendengar raungan itu. Ibu bilang itu srigala. Hewan buas
yang kerap kali membuat ku dan kawanan merasa selalu diawasi. Kucoba
membayangkan langit gelap malam ini penuh bintang dan ku hitung satu demi satu,
berharap kantuk segera memanjakan ku.
Bau
ini sangat nikmat, bau kegemaran ku, badan ku pun sangat hangat, hingga
kudengar bisikan kecil ditelingaku mengajak ku membuka mata. Ternyata benar,
aku malu hari ini. Ku duakan mentari yang sering ku kagumi dan ku ajak
berbincang sedari dini hari dengan buaian peri mimpi yang mencoba terus
merayuku untuk menemaninya. Lalu ku kejar asal bisikan yang membantuku kembali.
Ia angsa putih yang sangat cantik, aku menyukai dirinya saat pertama melihatnya.
Lalu kami bersahabat baik sebagai angsa betina di hutan ini, the brass jungle.
Namanya
snow, nama yang cocok selembut dia terlihat. Aku masih ingat saat itu, saat aku
berbincang dengan anak ikan di pinggiran danau kuning. “Hi, namaku snow. Mari
ikut aku bermain!, tak baik sendirian”. Entah mengapa, aku yang saat itu selalu
menutup diri dan menikmati setiap detang jantung dengan duniaku, beranjak dari
tempat ku dan mengikutinya. Aku dibawa pada sekelompok angsa yang cantik-cantik.
Mereka putih bersih dan memiliki sayap yang indah. Jauh berbeda dengan aku,
angsa kuning yang kecil dan bahkan tak bersayap.
Aku
tertawa, menertawai perkataan lucu kawan-kawan baru ku. Aku hanya bisa menjadi
pendengar saat itu. Hingga ibu ku memanggil dari kejauhan, member tanda aku
untuk segera pulang. Ibu ku memang selalu begitu, selalu menghawatirkan ku,
hingga ku selalu merasa aku tak akan pernah dewasa, lalu ku salahkan sayapku
yang tak pernah ada, yang menjadi alasan ini semua.
Bulan
demi bulan terlalui, musim kini berganti menghangat bahkan menyengat. Aku
berlari bersemangat seperti hari-hari biasanya, kini aku berubah. Menjadi angsa
yang gemar bergurau dan banyak omong. Aku cenderung memimpin di kelompok ku ini
dan sering ku ceritakan kisah gila yang aku hasilkan dari imajinasiku yang
liar. Lalu mereka selalu memujinya. Aku diam melihat semua kawan ku tertawa,
entah angsa macam apa aku ini, Nampak seperti angsa pelawak. Tapi aku menikmati
setiap tawa dari mereka. Hingga akhirnya aku jatuh cinta.
Aku
jatuh cinta pada angsa hitam. Kelompok ku mendukungnya, begitupun dengan snow.
Namun hal tersebut tak lama. Snow menolak ku mencintainya. Katanya aku tak
pantas memilikinya. Lalu ku berlari menemui teman ikan ku. Ku utarakan
semuanya, lalu ia menyuruhku untuk menanyakan larangannya itu, karena mungkin
angsa hitamlah yang tak pantas untuk ku.
Aku
menemuinya. Katanya dia marah, aku pernah bersalah dan aku pernah nakal.
Sehingga ia menyimpulkan untuk membenciku dan memutuskan aku tak pantas bersama
angsa hitam. Angsa jantan yang memang terlihat bijak dan penuh dengan kebaikan.
Lalu ku minta maaf, maaf dan maaf atas segala salah dan nakal yang aku lakukan,
berharap ia tak membenciku. Ia menerima itu, tapi ia tak lagi mau menemui ku,
bahkan melihat ku meski sedetik saja. Ia terbang, terbang, sedang tak ada lagi
yang aku bisa lakukan. Aku tak bersayap.
Berminggu
aku datang ke tempat biasa aku berkumpul dengan kawanan ku, tapi lagi-lagi Snow
saja lah yang tak muncul. Aku hanya bisa terus menunggunya, namun entah sampai
kapan. Ia bebas pergi dan kembali, ia memiliki apa yang tak aku miliki. Ku
lihat lagi bayangan ku di air, aku masih sama. Angsa kuning tak bersayap. Tak
kan berubah. Menunggu angsa cantik sahabat ku menemui ku, memberikan penjelasan
kemana saja ia dan mengapa harus terbang. Aku tak bisa mengejarnya.
Bebicara lewat angsa, kamu selalu bisa memberikan metafor yang indah je.
ReplyDeletekamu saja yang melihatnya dari sudut keindahan kamu sendiri bay. hehe
ReplyDelete